Senin, 07 Oktober 2013

KARAPAN SAPI Termasuk Olahraga Tradisional

(sebuah pendapat)
Penulis :
Biasworo Adisuyanto Aka
Sumber : Wikipedia

Menyikapi berbagai pertanyaan dari masyarakat Jawa Timur terkait dengan atraksi perlombaan adu cepat sapi, yang setiap tahun selalu dilaksanakan di Pulau Madura, yang lebih dikenal dengan nama “KARAPAN SAPI”. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah “apakah perlombaan Karapan Sapi termasuk jenis cabang olahraga tradisional ?”. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, selain tidak ada buku yang menjadikan referensi juga organisasi FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia) belum mengelompokan kegiatan ini dalam ruang lingkup olahraga rekreasi. Sampai dengan saat ini, belum ada organisasi olahraga yang mewadahi kegiatan ini, juga belum ada organisasi yang menyebutkan bahwa “Perlombaan Karapan Sapi” merupakan jenis cabang olahraga tradisional. Artinya, belum ada salah satu lembaga atau kelompok masyarakat yang mengkleim perlombaan yang sangat popular di Pulau Madura ini ke dalam ruang lingkup “Olahraga Tradisional”. Bahkan bentuk kebijakan pemerintah yang menetapkan kegiatan ini ke dalam ruang lingkup olahraga rekreasi juga belum ada.

Karapan Sapi
Gambar diambil dari Internet
Bila ditinjau dari penulisan pada Wikipedia, Karapan Sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pualau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang manarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan sapi lainnya. Trek pacuan tersebut sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa Kabupaten di Pulau Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di Kabupaten Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.

Pertanyaan seputar “Karapan Sapi” yang sering muncul sebagaimana disebutkan di atas masih sulit untuk dijawab, baik oleh FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia) maupun masyarakat umum. Bila kita cermati bentuk kegiatan lomba “Karapan Sapi” ini sangat mirip dengan olahraga balap kuda (pacuan kuda). Pacuan Kuda mempunyai keserupaan adu kecepatan dalam menentukan kemenangan. Peserta yang tercepat mencapai garis finish, akan dinyatakan sebagai pemanang pada perlombaan ini. Begitupula dengan perlombaan “Karapan Sapi” yang sering diselenggarakan di Pulau Madura ini merupakan adu kecepatan dua ekor Sapi yang menjadi kesatuan utuh yang tidak terpisahkan. Perbedaan yang paling tampak dan menonjol dari perlombaan adu cepat ini adalah cara menunggang dan jumlah binatang yang dipergunakan. Balap Kuda hanya menggunakan satu satu ekor kuda dengan satu orang Joki yang duduk di punggung Kuda. Sedangkan Karapan Sapi menggunakan dua ekor Sapi dengan satu orang Joki yang berdiri di kayu antara kedua Sapi.

Mencermati kemiripan ini, tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa “Karapan Sapi” juga merupakan kegiatan “olahraga”. Karena untuk perlombaan Balap Kuda sudah cukup lama dalam ranah pembinaan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), bahkan pada pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) balap kuda merupakan salah satu cabang olahraga yang diperlombakan. Oleh sebab itu, ketika ada kemiripan pada perlombaan “Karapan Sapi” dengan perlombaan balap kuda ini, maka kita berani mengatakan bahwa “Karapan Sapi” juga merupakan kegiatan “Olahraga” sebagaimana “Balap Kuda/Pacuan Kuda”.

Apalagi dalam perlombaan “Karapan Sapi” juga dibutuhkan ketrampilan dan kemampuan fisik seorang Joki untuk mengendalikan arah laju larinya “Sapi” hingga garis finish. Tanpa ketrampilan dan kekuatan yang baik, seorang Joki akan mengalami kesulitan mengendalikan laju lari dua ekor “Sapi” dalam keadaan lari kencang dan hanya berdiri dalam sebuah balok kayu yang terkait pada dua ekor sapi tersebut. Secara otomatis, peserta Karapan Sapi yang ingin menjadi pemenang harus dikendalikan oleh seorang Joki yang memiliki ketrampilan dan kekuatan fisik memadai.

Hal inilah yang dapat mengklasifikasikan lomba “Karapan Sapi” ini ke dalam ruang lingkup “Olahraga”. Selain mengandung unsure keterampilan gerak, juga membutuhkan kekuatan fisik tubuh seorang Joki. Untuk memperoleh kekuatan fisik tentunya dibutuhkan program latihan yang sistemik, berkesinambungan dan teratur serta memenuhi kaedah kebugaran jasmani.

Nah… sekarang yang perlu dikupas pada kegiatan “Karapan Sapi” ini apakah juga merupakan “olahraga tradisional” sebagaimana pertanyaan masyarakat di atas. Hal ini perlu kita tinjau lebih spesifik tentang keberadaan “Karapan Sapi” ini melalui jejak sejarah. Karena pengertian “olahraga tradisional” adalah merupakan kegiatan olah fisik yang mengandung nilai-nilai budaya, yang pada hakekatnya merupakan warisan leluhur nenek moyang kita.

Wikipedia menceritakan sejarah munculnya karapan sapi, bermula dilatar belakangi kondisi tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya banyak orang Madura yang berada di daerah pesisir mengalihkan mata pencahariannya sebagai nelayan. Sedangkan lainnya, kebanyakan beternak sapi dan sekaligus dipergunakan untuk bertani khusus dalam membajak sawah atau ladang. Suatu ketika seorang ulama Sumenep bernama Syeh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur), ingin memberi motivasi kepada masyarakat untuk mau kembali bertani dengan memperkenalkan cara bercocok tanam yang mudah, yaitu dengan menggunakan sepasang bambu yang dikenal dengan masyarakat Madura dengan sebutan “nanggala” atau “segala” yang ditarik dengan dua ekor sapi. Cara bercocok tanam yang diperkenalkan Pangeran Katandur ini, adalah untuk memudahkan para petani menggemburkan tanah yang sangat keras. Yang selama ini menggunakan tenaga manusia dan sebuah alat cangkul, dirubah dengan memanfaatkan tenaga dua ekor sapi. Sedangkan alat cakulnya diganti dengan sebuah alat yang terbuat dari kayu dengan disain khusus sebagai alat bajaknya dan diikatkan secara kuat kepada dua ekor sapi. Sebagai pengendali kedua ekor sapi tersebut dalam menentukan  perpindahan dan perputaran arah dibutuhkan seorang petani yang berdiri di atas kayu alat bajak. Cara bercocok tanam yang diperkenalkan Pangeran Ketandur ini menjadikan petani bersemangat karena menjadi lebih ringan dalam mengerjakan lahannya.

Agar petani mampu menguasai cara mengendalikan kedua ekor sapi saat membajak sawah dan sapi-sapi yang dipergunakan menjadi lebih kuat, Pangeran Ketandur memunculkan gagasan sebuah permainan dalam bentuk adu ketangkasan dan kecepatan sapi dan peralatan bajaknya secara utuh. Para pemabajak sawah harus melatih dua ekor sapinya mampu berlari cepat dan mengalahkan pembajak lainnya. Gagasan diadakannya adu cepat sapi ini kemudian menjadi tradisi di Pulau Madura dan diberi nama “Karapan Sapi”. Karapan Sapi pada akhirnya menjadi kegiatan rutin setiap tahun, khususnya setelah menjelang musim panen habis. Kegiatan lomba Karapan Sapi ini didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi dengan mengelilingi arena pacuan dan selalu diiringi musik Seronen.

Bila dibandingkan dengan balap kuda, perlombaan Karapan Sapi terlihat lebih sengit dan heboh. Hal ini ditinjau dari faktor kesulitan saat mengendalikan binatang tunggangannya. Seorang joki balap kuda tidak serumit joki karapan sapi yang harus mengendalikan sepasang sapi dengan posisi kendali sambil berdiri di atas kayu bajak. Faktor kusulitan inilah yang menjadikan perlombaan Karapan Sapi menjadi seru dan lebih heboh dibandingkan dengan balap kuda.

Ditunjau dari pemahaman kedua permasalahan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa perlombaan “Karapan Sapi” juga merupakan “Olahraga Tradisional”, yang merupakan jenis permainan fisik dan mengandung nilai-nilai budaya tradisional turun menurun hingga sekarang. Acara Karapan Sapi atau Bull Race ini selalu berhasil dalam penyelenggaraannya dan mampu menyedot perhatian masyarakat luar, baik dari nusantara bahkan mancanegara. Acara bergengsi bagi masyarakat Madura ini adalah dalam rangka memperebutkan Piala Bergilir Presiden (Presiden Cup), dan biasanya diselenggarakan dipusat Kota Pamekasan. Selain menggelar adu cepat sapi, acara ini juga menghadirkan unsur kesenian dan budaya Madura. Sehari sebelum perlombaan karapan sapi, biasanya didahului dengan kesenian Sapi Sonok. Jika di medan laga, si Sapi bertarung dengan tenaga untuk dapat berlari cepat, lain halnya dengan pagelaran Sapi Sonok yang bertarung dengan mengandalkan kecantikan dan keluwesannya berjalan di catwalk ala Sapi Sonok. Rupanya, bukan Cuma kesenian berbau sapi saja yang digelar pada saat itu, pada malam harinya juga digelar berbagai kesenian budaya dan adat Madura, seperti festival tarian tradisional dari berbagai Kabupaten, fesitival makanan, dan kesenian ala Madura lainnya.